Pogalan, Magelang, (25-07-2024), Pada Kamis, 25 Juli 2024 yang lalu, Mahasiswa TIM II KKN Undip 2024 telah mengadakan edukasi mengenai Pernikahan Dini di SMPN 5 Satu Atap Pakis. Kegiatan ini dilaksanakan di ruang kelas 9 SMPN 5 Satu Atap Pakis yang diikuti oleh siswa-siswi di kelas tersebut. Materi yang disampaikan pada k
kegiatan ini diantaranya tentang pengenalan aturan pernikahan menurut hukum positif di Indonesia, faktor pernikahan dini, dampak pernikahan dini, dan upaya pencegahan pernikahan dini.
Program edukasi Pernikahan Dini yang dilaksanakan oleh Nadia Aulia Zahrani selaku mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang merupakan salah satu program kerja monodisiplin dari Kuliah Kerja Nyata (KKN). Program kerja ini dilaksanakan atas dasar informasi dari kepala dusun yang ada di Desa Pogalan yang mengatakan bahwa praktik pernikahan dini di Desa Pogalan masih marak dilakukan. Tidak hanya itu, kasus pengajuan dispensasi perkawinan ke Kantor Urusan Agama oleh masyarakat juga masih banyak ditemukan.
Pernikahan dini, yang didefinisikan sebagai pernikahan yang melibatkan salah satu atau kedua pasangan yang belum mencapai usia 19 tahun, telah menjadi isu serius di berbagai negara. Meskipun dalam beberapa budaya pernikahan pada usia muda dapat dianggap sebagai tradisi yang sah, namun dampak negatif dari pernikahan dini justru lebih banyak menyebabkan keprihatinan di kalangan masyarakat.
Berdasarkan hukum positif di Indonesia, pernikahan dini atau pernikahan usia dibawah umur telah melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang -- Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa:
"Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun."
Kemudian apabila pernikahan itu sangat mendesak maka bagi anak -- anak usia dibawah umur harus mengajukan dispensasi menikah ke pengadilan yang dapat diajukan oleh orang tua. Hal ini didasarkan pada pasal 7 ayat (2) Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 bahwa :
"Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita."
Akan tetapi dengan adanya dispensasi nikah tersebut tidak dapat dijadikan alternatif agar anak dapat menikah di usia muda. Hal tersebut dikarenakan pernikahan dini memiliki dampak negatif yang beragam, diantaranya:
1. Kesehatan Fisik dan Mental: Anak-anak yang menikah pada usia muda cenderung mengalami masalah kesehatan fisik dan mental. Kehamilan pada usia yang belum matang dapat meningkatkan risiko komplikasi kesehatan baik bagi ibu maupun bayi yang dikandung hingga menyebabkan kematian pada ibu muda. Selain itu, stres dan beban tanggung jawab yang berat pada usia muda dapat berkontribusi pada masalah mental seperti depresi dan gangguan kecemasan pada pasangan muda.
2. Pendidikan Terhambat: Pernikahan dini juga menyebabkan terhambatnya akses anak-anak perempuan untuk menempuh pendidikan. Mereka cenderung menghentikan sekolah lebih awal untuk mengurus keluarga mereka. Hal ini tentu berdampak negatif pada kualitas sumber daya manusia di suatu desa
3. Kemiskinan: Pernikahan dini dapat menyebabkan kemiskinan dalam keluarga muda. Pasangan yang belum siap secara finansial memiliki risiko lebih tinggi untuk hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit, karena mereka belum memiliki peluang yang memadai untuk mencari pekerjaan yang stabil dan berpenghasilan, sehingga berisiko meningkatkan kemiskinan
Menurut survey yang dilakukan di Desa Pogalan, ada beberapa faktor penyebab marak terjadinya pernikahan di usia dini. Faktor utama biasanya didasarkan pada faktor tradisi dan pola pikir masyarakat yang masih memandang pernikahan di usia muda sebagai hal yang lumrah. Serta kurangnya kesadaran wajib sekolah 12 tahun yang menyebabkan anak-anak yang telah lulus SMP lebih memilih untuk menikah muda dibanding melanjutkan pendidikannya.
Maraknya pernikahan dini menjadi masalah global yang memiliki dampak serius pada kesehatan fisik, mental, pendidikan, dan kesejahteraan sosial individu. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya kolaboratif dari pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat sipil, dan individu. Dengan pendidikan yang komprehensif, pemberdayaan perempuan, tindakan hukum yang tegas, dan partisipasi aktif masyarakat, kita dapat bergerak menuju penghapusan pernikahan dini dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda.